Asal Usul Desa Semampir Reban
Semampir
adalah salah satu desa di Kecamatan Reban Kabupaten Batang Provinsi Jawa
Tengah
berjarak ± 1,5 Km dari Ibukota Kecamatan. Seperti desa-desa lainnya, desa ini juga mempunyai
peranan penting dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Berikut ini kami
ceritakan sekilas tentang asal-usul Desa tersebut.
Pada abad 19 waktu Indonesia
masih dijajah oleh Belanda, rakyat Indonesia sangatlah menderita. Kehidupan
rakyat sangatlah tertindas oleh ulah penjajah. Kebodohan dan kemiskinan
dirasakan betul oleh rakyat kita. Semua hasil pertanian dikuras oleh penjajah
dan dibawa ke negeri kincir angin,
bangsa Indonesia diperas tenaganya untuk kepentingan penjajah. Bekerja
seharian diberi upah sangatlah tidak layak, makan sangat kurang dan tidak
bergizi. Melihat keadaan seperti itu ada salah seorang Pangeran yang ingin
membebaskan negeri ini dari penindasan Belanda. Pangeran tersebut adalah
Pangeran Diponegoro dari Mataram (Yogyakarta).
Joglo Masuk Desa Semampir |
Penyerangan
pertama berhasil dan dilanjutkan dengan penyerangan berikutnya, yang membuat
kalang kabut pihak Belanda. Pada saat perang Pangeran Diponegoro berkecamuk,
ratusan korban jiwa berjatuhan, baik dari pihak rakyat maupun tentara Belanda.
Tetesan darah para pahlawan yang gugur bagaikan air bah yang membasahi bumi
pertiwi. Suara meriam dan tembakan dari pihak musuh memecah kesunyian malam.
Sedangkan pasukan kita hanya bersenjatakan seadanya, badik, keris, dan bambu
runcing tetapi tidak mengurangi semangat
juang pasukan kita untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perang
berlangsung antara tahun 1825 – 1830, selama hampir lima tahun Pangeran
Diponegoro beserta anak buahnya melawan penjajah. Keluar masuk hutan, naik
gunung, turun gunung untuk bersembunyi dan menyusun siasat perang untuk
penyerangan selanjutnya. Pangeran Diponegoro beserta pasukan mendapat
kemenangan yang gemilang, membuat pihak Belanda kalang kabut menghadapi Pasukan
Diponegoro. Sampai akhirnya pihak Belanda berniat licik untuk menangkap
Pangeran Diponegoro. Akhirnya niat Belanda tercapai menangkap Pangeran
Diponegoro dengan jalan pura-pura diajak berdamai. Pangeran Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Makasar Sulawesi. Setelah Pangeran Diponegoro
diasingkan, para prajurit tersebar menyelamatkan diri ke daerah Kedu,
Yogyakarta dan sekitarnya.
Dari
sekian banyak prajurit Pangeran Diponegoro seorang diantaranya adalah Ki Buyut
Proyononggo lari ke daerah Kedu untuk menyelamatkan diri. Beliau dikenal
memiliki ilmu yang tinggi dan sering melakukan tirakat, puasa Senin-Kamis,
puasa mutih (tidak makan garam). Untuk menghindari pengejaran Belanda, Buyut
Proyononggo menyamar membaur dengan masyarakat. Bila malam tiba Buyut Proyononggo
tidak tidur di dalam rumah, tetapi tidur di atas pohon besar dan tinggi agar
tidak kelihatan oleh musuh. Dalam pengembaraannya Buyut Proyononggo berjalan
kaki keluar masuk hutan, menyeberangi sungai, menuruni tebing dan mendaki
gunung. Jalan yang dilalui berupa hutan belantara yang masih lebat. Bisa dibayangkan betapa berat perjalanan yang dilakukan oleh
Buyut Proyononggo dahulu kala. Hanya ada jalan setapak yang masih berupa tanah
dengan bebatuan yang licin, binatang buas siap menghadang setiap saat mengintai
kelengahan si pejalan kaki. Tetapi Buyut Proyononggo tidak mengenal kata
menyerah atau putus asa. Dalam perjalanannya Ki Buyut selalu diikuti mata-mata
Belanda yang mencari tahu keberadaan Ki Buyut. Agar tidak diketahui mata-mata
Belanda, Ki Buyut mempunyai siasat kalau malam tiba, Ki Buyut tidur di dahan
pohon besar, tubuhnya diletakkan sedangkan tangan dan kakinya menggantung
layaknya seperti kalong alias semampir di dahan. Itu dilakukan setiap malam
tiba. Dengan siasat ini Ki Buyut Proyononggo tidak hanya berhasil mengelabuhi
mata-mata Belanda tetapi juga menghindari serangan binatang buas.
Pada
suatu hari perjalanan Ki Buyut Proyononggo sampai di suatu tempat yang masih
sepi dan hanya ada beberapa rumah penduduk, desa itu masih belum mempunyai
nama. Ki Buyut Proyononggo beristirahat untuk beberapa saat di tempat itu dan
berbaur dengan penduduk dusun itu, tetapi tidurnya tetap di atas pohon alias
semampir. Karena dirasa cocok dengan penduduk dan yakin tidak ada mata-mata
yang mengikutinya, akhirnya Ki Buyut Proyononggo memutuskan untuk menetap di
dusun itu. Sebagai penduduk baru Ki Buyut Proyononggo selalu menolong
orang-orang yang membutuhkan. Ki Buyut juga mengajar mengaji kepada penduduk
sekitar, juga mengobati orang yang sakit. Hampir setiap hari ada saja orang
yang meminta bantuan dengan senang hati Ki Buyut Proyononggo membantu.
Karena
seringnya bergaul dengan penduduk sekitar, Buyut Proyononggo semakin dekat
dengan penduduk bahkan seperti keluarga sendiri. Demikian pula warga sekitar
sangat terbantu dengan kehadiran Ki Buyut Proyononggo seperti pemimpin bagi
mereka yang selalu mengayomi dan menolong warga sekitar.
Untuk
menghilangkan kesepian karena hidup seorang diri tanpa saudara, akhirnya Ki
Buyut menikahi gadis desa itu dan mempunyai keturunan yang sampai saat ini
keturunan Ki Buyut Proyononggo sudah keturunan yang keenam. Sesudah usianya
sudah tua Ki Buyut melakukan semedi dengan cara semampir di dahan pohon selama
40 hari. Di dalam semedi itu tak jarang Ki Buyut Proyononggo mendapat gangguan
dari makhluk halus atau sejenisnya. Sampai akhirnya Ki Buyut dapat
menyelesaikan semedinya sampai 40 hari.
Karena bertapa Ki Buyut Proyononggo dengan cara
semampir di dahan pohon, maka sejak saat itu desa itu diberi nama “SEMAMPIR”.
Sampai akhirnya Ki Buyut Proyononggo meninggal di Desa Semampir dan dimakamkan
di desa itu pula. Sampai sekarang makamnya dikeramatkan oleh penduduk sekitar
0 Response to "Asal Usul Desa Semampir Reban"
Post a Comment